Assalamu'alaikum...

Ahlan wa Sahlan..

Ya Akhi ..
Ya Uhkty..

Sabtu, 30 April 2011

KEDUDUKAN KURIKULUM DALAM PROSES PENDIDIKAN

BAB I
KEDUDUKAN KURIKULUM DALAM PROSES PENDIDIKAN

Jarak Tempuh Lari
 
Jalan Terang
 
Curere
 
Manhaj
 
Arab
 
Bahasa
 
Pengertian Kurikulum






Yunani
 


 





Tokoh
Defenisinya
Al-Syaibani
Kurikulum terbatas pada pengetahuan-pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah atau institusi pendidikan lainnya dalam bentuk mata pelajaran.
Kemp Morrison dan Ross
Lebih menekankan pada isi mata pelajaran dan keterampilan yang termuat dalam mata pelajaran pendidikan.
Kamil dan Sarhan
Menekankan pada sejumlah pengalaman pendidikan, budaya, sosial, olah raga dan seni yang disediakan oleh sekolah bagi para peserta didik di dalam dan di luar sekolah, dengan maksud mendoromg mereka untuk berkembang  menyeluruh dalam segala segi dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan.
Ronald C. Doll
“The commonly accepted definition of the curriculum has changed from content of courses of study and list of subject and courses to all the experiences which are offered to learners under the auspices or direction of the school……”
Saylor dan Alexander
Segala usaha sekolah/ perguruan tinggi yang bisa menghasilkan atau menimbulkan hasil-hasil belajar yang dikehendaki, apakah di dalam situasi-situasi sekolah/ perguruan tinggi ataupun di luar lokasi sekolah/ perguruan tinggi.
Johnson
………..a structured series of intended learning outcomes
Beauchamp
“a Curriculum is written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school

Strategi Pembelajaran


Strategi belajar-mengajar adalah cara-cara yang dipilih untuk menyampaikan materi pelajaran dalam lingkungan pengajaran tertentu, yang meliputi sifat, lingkup dan urutan kegiatan yang dapat memberikan pengalaman belajar kepada siswa (Gerlach dan Ely). Strategi belajar-mengajar tidak hanya terbatas pada prosedur kegiatan, melainkan juga termasuk di dalamnya materi atau paket pengajarannya (Dick dan Carey). Strategi belajar-mengajar terdiri atas semua komponen materi pengajaran dan prosedur yang akan digunakan untuk membantu siswa mencapai tujuan pengajaran tertentu dengan kata lain strategi belajar-mengajar juga merupakan pemilihan jenis latihan tertentu yang cocok dengan tujuan yang akan dicapai (Gropper). Tiap tingkah laku yang harus dipelajari perlu dipraktekkan. Karena setiap materi dan tujuan pengajaran berbeda satu sama lain, makajenis kegiatan yang harus dipraktekkan oleh siswa memerlukan persyaratan yang berbeda pula.
 
Menurut Gropper sesuai dengan Ely bahwa perlu adanya kaitan antara strategi belajar mengajar dengan tujuan pengajaran, agar diperoleh langkah-langkah kegiatan belajar-mengajar yang efektif dan efisien. Ia mengatakan bahwa strategi belajar-mengajar ialah suatu rencana untuk pencapaian tujuan. Strategi belajar-mengajar terdiri dari metode dan teknik (prosedur) yang akan menjamin siswa betul-betul akan mencapai tujuan, strategi lebih luas daripada metode atau teknik pengajaran.

Metode, adalah cara, yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini berlaku baik bagi guru (metode mengajar) maupun bagi siswa (metode belajar). Makin baik metode yang dipakai, makin efektif pula pencapaian tujuan (Winamo Surakhmad)

Kadang-kadang metode juga dibedakan dengan teknik. Metode bersifat prosedural, sedangkan teknik lebih bersifat implementatif. Maksudnya merupakan pelaksanaan apa yang sesungguhnya terjadi (dilakukan guru) untuk mencapai tujuan. Contoh: Guru A dengan guru B sama-sama menggunakan metode ceramah. Keduanya telah mengetahui bagaimana prosedur pelaksanaan metode ceramah yang efektif, tetapi hasilnya guru A berbeda dengan guru B karena teknik pelaksanaannya yang berbeda. Jadi tiap guru mungakui mempunyai teknik yang berbeda dalam melaksanakan metode yang sama.
Dalam proses pembelajaran istilah tersebut di atas memiliki kemiripan makna, sehingga seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya.
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Selanjutnya ………..

Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi/ berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teachercenteredapproach).
Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran. Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha,yaitu :
1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya.
2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai sasaran.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran.
4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:
1. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil perilaku dan pribadi peserta didik.
2. Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling efektif.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik pembelajaran.
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan ukuran baku keberhasilan.
Sementara itu, Kemp (Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J. R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Dilihat dari strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-discovery learning dan (2) group-individual learning (Rowntree dalam Wina Senjaya, 2008). Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat dibedaka@�����


Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif.
Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi merupakan “a plan of operation achieving something” sedangkan metode adalah “a way in achieving something” (Wina Senjaya (2008). Jadi, metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9) simposium, dan sebagainya.
Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Demikian pula, dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama.
Sementara taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Misalkan, terdapat dua orang sama-sama menggunakan metode ceramah, tetapi mungkin akan sangat berbeda dalam taktik yang digunakannya. Dalam penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan humor karena memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat bantu elektronik karena dia memang sangat menguasai bidang itu. Dalam gaya pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-masing guru, sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru yang bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekalkigus juga seni (kiat)
Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil (Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran. Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat divisualisasikan sebagai berikut:
Di luar istilah-istilah tersebut, dalam proses pembelajaran dikenal juga istilah desain pembelajaran. Jika strategi pembelajaran lebih berkenaan dengan pola umum dan prosedur umum aktivitas pembelajaran, sedangkan desain pembelajaran lebih menunjuk kepada cara-cara merencanakan suatu sistem lingkungan belajar tertentu setelah ditetapkan strategi pembelajaran tertentu. Jika dianalogikan dengan pembuatan rumah, strategi membicarakan tentang berbagai kemungkinan tipe atau jenis rumah yang hendak dibangun (rumah joglo, rumah gadang, rumah modern, dan sebagainya), masing-masing akan menampilkan kesan dan pesan yang berbeda dan unik. Sedangkan desain adalah menetapkan cetak biru (blue print) rumah yang akan dibangun beserta bahan-bahan yang diperlukan dan urutan-urutan langkah konstruksinya, maupun kriteria penyelesaiannya, mulai dari tahap awal sampai dengan tahap akhir, setelah ditetapkan tipe rumah yang akan dibangun.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa untuk dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, seorang guru dituntut dapat memahami dan memliki keterampilan yang memadai dalam mengembangkan berbagai model pembelajaran yang efektif, kreatif dan menyenangkan, sebagaimana diisyaratkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Mencermati upaya reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan di Indonesia, para guru atau calon guru saat ini banyak ditawari dengan aneka pilihan model pembelajaran, yang kadang-kadang untuk kepentingan penelitian (penelitian akademik maupun penelitian tindakan) sangat sulit menemukan sumber-sumber literarturnya. Namun, jika para guru (calon guru) telah dapat memahami konsep atau teori dasar pembelajaran yang merujuk pada proses (beserta konsep dan teori) pembelajaran sebagaimana dikemukakan di atas, maka pada dasarnya guru pun dapat secara kreatif mencobakan dan mengembangkan model pembelajaran tersendiri yang khas, sesuai dengan kondisi nyata di tempat kerja masing-masing, sehingga pada gilirannya akan muncul model-model pembelajaran versi guru yang bersangkutan, yang tentunya semakin memperkaya khazanah model pembelajaran yang telah ada.
Sumber Bacaan
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja.
Beranda Blogs akhmadsudrajat’s blog, (http://smacepiring.wordpress.com/)
Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990. Strategi Belajar Mengajar (Diktat Kuliah). Bandung: FPTK-IKIP Bandung.
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
This entry was posted on Wednesday, February 18th, 2009 at 6:42 am and is filed under Uncategorized.
Kencana Prenada Media Group. Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran (http://smacepiring.wordpress.com/)
Mengacu pada perbedaan istilah yang dikemukakan sebelumnya maka, dapat dikatakan bahwa Strategi Pembelajaran itu merupakan pola umum rentetan kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Strategi pada hakekatnya belum mengarah pada hal-hal yang bersifat praktis. Starategi masih berupa rencana atau gambaran menyeluruh. Sedangkan untuk mencapai tujuan, strategi disusun untuk tujuan tertentu. Tidak ada suatu strategi, tanpa adanya tujuan yang akan dicapai.
Misalkan dalam suatu permainan sepak bola, permainan catur atau apa saja, untuk memenangkan pertandingan kita dapat menggunakan strategi menyerang atau bertahan. Nah, apabila telah ditetapkan strategi macam apa yang telah kita terapkan, selanjutnya kita tetapkan pola atau metode menyerang atau bertahan macam apa yang harus dilakukan, misalkan kita menerapkan pola 3-3-5, untuk menambah ketajaman dalam sepak bola, atau menerapkan pola 5-4-2, untuk sekedar bertahan. Apabila telah ditetapkan pola yang sesuai dengan strategi yang di inginkan, baru membicarakan teknik atau taktik permainan.
Demikian pula halnya dalam proses pembelajaran. Untuk mencapai tujuan pembelajaran (ingat pembelajaran adalah peristiwa yang bertujuan), perlu disusun suatu strategi agar tujuan itu tercapai dengan optimal. Tanpa suatu strategi yang cocok, tepat dan jitu, tidak mungkin tujuan dapat tercapai.
Dalam proses pembelajaran berbasis kompetensi, strategi dapat dikatakan sebagai pola umum yang berisi tentang rentetan kegiatan yang dapat dijadikan pedoman (petunjuk umum) agar kompetensi sebagai tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Pola atau cara yang ditetapkan sebagai hasil dari kajian strategi itu dalam proses pembelajaran dinamakan dengan metode pembelajaran. Jadi dengan demikian metode pada dasarnya berangkat dari suatu strategi tertentu. Sekarang, bagaimana cara untuk menjalankan metode yang di tetapkan itu, ini yang dinamakan dengan teknik atau taktik penerapan metode. Jadi dengan demikian teknik atau taktik sifatnya lebih praktis yang disusun untuk menjalankan suatu metode dan strategi tertentu. Dengan kata lain teknik atau taktik itu pada dasarnya menunjukkan cara yang dilakukan seseorang yang sifatnya lebih bertumpu pada kemempuan dan pribadi seseorang. Misalnya, walaupun dua orang guru sama-sama menggunakan metode ceramah dalam suatu proses pembelajaran akan tetapi teknik ceramah yang ditampilkan keduanya bias berbeda, baik ditinjau dari bahasa yangn digunakan, intonasi suara, cara memberikan ilustrasi dan lain sebagainya.
Di samping istilah strategi, metode dan teknik, dalam konteks pembelajaran ada juga istilah lain yang dinamakan model mengajar (Models Of Teaching). Istilah ini dipopulerkan oleh Bruce Joyce dan Marsha Weil, dalam bukunya yang sangat terkenal Models Of Teaching (1971). Dalam buku yangn telah beberapa kali cetak ulang itu Joyce mengupas lebih dari 25 model mengajar yang dikelompokkan dalam 4 kelompok (family), yaitu kelompok model pemprosesan informasi (The Information Processing Family), Model pribadi (The Personal Family), Kelompok social (The social family), dan kelompok model tingkah laku (Behavioral Models of Teaching). Apabila dilihat dari uraian suatu model mengajar maka tampaknya model itu lebih luas dari suatu strategi. Dalam suatu model mengajar yang ditentukan bukan hanya apa yang harus dilakukan guru akan tetapi menyangkut 4 hal pokok yaitu tahapan-tahapan model (syntax), system social yang diharapkan, prinsip-prinsip reaksi guru dan siswa serta system penunjang yang di isyaratkan.
Istilah lain yang lebih umum dari istilah strategi dan model pembelajaran adalah istilah pendekatan (approach). Pendekatan memang tidak sama dengan strategi ataupun model. Pendekatan adalah istilah yang diberikan untuk hal yang bersifat lebih umum ; dan strategi adalah penjabaran dari pendekatan yang digunakan. Roy Killen (1998), contohnya membedakan istilah pendekatan dengan strategi. Bagi Killen ada dua pendekatan yang dapat dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran yaitu pendekatan pembelajaran yang breorientasi pada guru dan pendekatan yang berorientasi pada siswa atau Teacher-centered approaches dan Student-centered approaches. Kemudian Killen memerinci berbagai strategi pembelajaran yang termaksud kedalam dua pendekatan diatas.
Dari uraian di atas, maka tampak jelas, untuk menunjukkanproses pembelajaran dapat dimulai dari istilah pendekatan, kemudian dari pendekatan itu dijabarkan pada model pembelajaran,strategi pembelajaran, metode pembelajaran, teknik dan taktik baru. Untuk lebih memperjelas istilah-istilah tersebut anda dapat melihat pada kerucut terbalik seperti di bawah ini :
Gambar
Strategi pembelajaran dan istilah-istilah yang terkait
Strategi sebagai pola umum dapat memberikan petunjuk, bagaimana seharusnya kita membelajarkan siswa. Sedangkan, hal-hal yang lebih teknis dapat kita temukan dari pengalaman kita masing-masing.
Pertimbangan Pemilihan Strategi Pembelajaran
Pembelajaran pada dasarnya adalah proses penambahan informasi dan kemampuan/kompetensi baru. Ketika kita berpikir informasi dan kompetensi apa yang harus dimiliki oleh sisiwa, maka pada saat itu juga kita harusnya berfikir strategi apa yang harus dilakukan agar semua itu dapat tercapai secara efektif dan efisien. Ini sangat penting untuk dipahami, sebab apa yang harus dicapai akan menentukan bagaimana cara mencapainya. Oleh karena itu sebelum menentukan strategi pembelajaran yang dapat digunakan, ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan.

Teori Sigmund Freud

Karakter menurut Sigmund Freud adalah
Character is a striving system which underly behaviour,
yang saya artikan sebagai kumpulan tata nilai yang mewujud dalam suatu sistem daya dorong (daya juang) yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku, yang akan ditampilkan secara mantap.

Karakter merupakan aktualisasi potensi dari dalam dan internalisasi nilai-nilai moral dari luar menjadi bagian kepribadiannya.

Karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh lingkungan, menjadi nilai intrinsik yang melandasi sikap dan perilaku kita.
Jadi, karena karakter harus diwujudkan melalui nilai-nilai moral yang dipatrikan untuk menjadi semacam nilai intrinsik dalam diri kita, yang akan melandasi sikap dan perilaku kita, tentu karakter tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus kita bentuk, kita tumbuh kembangkan dan kita bangun.

Keterkaitan antara jati diri, karakter dan perilaku sebagai suatu proses dapat digambarkan sebagai berikut; berawal dari jati diri yang merupakan fitrah manusia yang mengandung sifat-sifat dasar yang diberikan oleh Tuhan dan merupakan potensi yang dapat memancar dan ditumbuhkembangkan. Dapat kita gambarkan bahwa jati diri yang merupakan potensi itu adalah dapat disamakan dengan sebuah batu permata yang belum terbentuk, yang perlu dipotong, diasah dan digosok untuk dapat memancar sebagai permata yang bersinar. Memotong, mengasah dan menggosok adalah wujud dari pembangunan karakter, dimana ada pengaruh lingkungan, ada upaya mengaktualisasikan potensi dari dalam serta adanya internalisasi nilai-nilai dari luar. Ini yang akan menghasilkan karakter atau batu permata yang bersinar secara cemerlang. Karakter inilah yang akan melandasi sikap dan perilaku kita yang dapat menghasilkan tampilnya perilaku seperti budi pekerti ataupun akhlak maupun penampilan bermoral yang memiliki daya juang untuk mencapai suatu tujuan yang mulia. Jadi, seorang yang berkarakter tidak cukup hanya sebagai seorang yang baik saja, tetapi orang berkarakter adalah orang yang baik, mampu menggunakan nilai baik tersebut melalui suatu daya juang mencapai tujuan mulia yang dicanangkan.

Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.1

Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan

Urgensi Agama dalam Kehidupan Remaja

Urgensi Agama dalam Kehidupan Remaja

Pembinaan mental seseorang dimulai sejak ia kecil. Semua pengalaman yang dilalui baik yang disadari atau tidak, ikut mempengaruhi dan menjadi unsur-unsur yang bergabung dalam kepribadian seseorang. Diantara unsur-unsur terpenting tersebut yang akan menentukan corak kepribadian seseorang dikemudian hari ialah nilai-nilai yang diambil dari lingkungan, terutama lingkungan keluarga. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai agama, moral dan sosial. Apabila dalam pengalaman waktu kecil itu banyak didapat nilai-nilai agama, maka kepribadiannya akan mempunyai unsur-unsur yang baik. Demikian sebaliknya, jika nilai-nilai yang diterimanya itu jauh dari agama maka unsur-unsur kepribadiannya akan jauh pula dari agama dan relatif mudah goncang. Karena nilai-nilai positif yang tetap dan tidak berubah-ubah sepanjang zaman adalah nilai-nilai agama, sedang nilai-nilai sosial dan moral yang didasarkan pada selain agama akan sering mengalami perubahan, sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Karena itulah maka mental (kepribadian) yang hanya terbina dari nilai-nilai sosial dan moral yang mungkin berubah dan goyah itu, akan membawa kepada kegoncangan jiwa apabila tidak diimbangi dengan nilai keagamaan.
Anselm von Feurbach, seorang ahli hukum terkenal pernah mengatakan: “Agama dalam bentuk apapun dia muncul tetap merupakan kebutuhan ideal umat manusia.” Masa remaja adalah usia transisi dari masa kanak-kanak menuju masa kematangan dewasa. Kematangan dewasa secara psikologis adalah keberhasilan seseorang dalam mencapai a sense of responsibility serta dalam memiliki filsafat hidup yang mantap. Salah satu materi yang pokok sebagai pengisi filsafat hidup adalah agama.1 Agama bagi remaja memiliki fungsi yang sangat penting yaitu untuk penenang jiwa. Pada masa adolesen (antara 13-21 tahun) seorang individu sedang mengalami masa kegoncangan jiwa. Dalam periode ini mereka digelisahkan oleh perasaan-perasaan yang ingin melawan dan menentang orang tua, Kadang-kadang merasa mulai muncul dorongan seks yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan. Disamping itu mereka sering gelisah karena takut gagal, merasa kurang serasi dalam pertumbuhan dan sebagainya. Segala macam gelombang itu akan menyebabkan mereka menderita dan kebingungan. Dalam keadaan seperti itu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan merupakan penolong yang sangat ampuh untuk mengembalikan ketenangan dan keseimbangan jiwanya.
Diantara faktor-faktor yang menambah besarnya kebutuhan remaja pada agama adalah perasaan berdosa yang sering terjadi pada masa ini. Seperti keadaan tidak berdaya dalam menghadapi dorongan atau hasrat seksuil, konflik dengan orang tua yang dianggap terlalu mencampuri kehidupan pribadinya, keinginan kuat untuk mandiri namun ketika dihadapkan pada kenyataan dan kesulitan hidup yang merupakan konsekuensi logis dari keinginan mandiri tersebut si remaja menjadi goyah dan setumpuk masalah lain termasuk masalah pergaulan sesama remaja serta upaya adaptasinya secara lebih mempribadi dengan lingkungan sekitar. Semua itu baik secara langsung maupun tidak langsung akan me’maksa’ remaja untuk mencari bantuan diluar dirinya berupa suatu kekuatan yang diyakini mampu menolong dirinya manakala ia tidak sanggup lagi bertahan. Untuk itu ia akan memerlukan kepercayaan yang sungguh-sungguh kepada Tuhan, sehingga bantuan luar yang diharapkannya tidak menyesatkan dan menggoyahkan pertumbuhan mentalnya.2 Jika sedari kecil si remaja yang goncang itu tidak pernah menerima didikan agama maka boleh jadi ia akan mencari pegangan dengan datang ke dukun-dukun atau yang lebih bahaya membiarkan dan menjerumuskan dirinya sendiri dalam lingkaran pergaulan yang tidak sehat. Kenakalan-kenakalan remaja yang mengejala belakangan ini merupakan contoh konkret dari fenomena remaja yang kehilangan pegangan hidup.
Akhirnya dapat kita tegaskan bahwa agama dan keyakinan yang sungguh-sungguh kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah kebutuhan jiwa yang pokok, yang dapat memberikan bantuan bagi remaja dalam upaya membebaskan dirinya dari gejolak jiwa yang sedang menghebat dan menolongnya dalam menghadapi dorongan-dorongan seksuil yang baru saja tumbuh. Remaja sebenarnya takut akan siksaan batin dan konflik jiwa yang kurang jelas sebab musababnya itu. Pertanyaan berikutnya yang penting untuk dibicarakan disini adalah bagaimana upaya dan peran pendidikan Agama di sekolah untuk memperkenalkan agama dan menanamkan rasa keberagamaan yang tepat serta yang dapat diterima oleh nalar dan nurani remaja itu sendiri?
Pendidikan Agama di Sekolah dan Pembinaan Mental Remaja
Pendidikan dimanapun dan kapanpun masih dipercaya orang sebagai media ampuh untuk membentuk kepribadian anak ke arah kedewasaan. Pendidikan agama adalah unsur terpenting dalam pendidikan moral dan pembinaan mental. Pendidikan moral yang paling baik sebenarnya terdapat dalam agama karena nilai-nilai moral yang dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri dan penghayatan tinggi tanpa ada unsur paksaan dari luar, datangnya dari keyakinan beragama. Karenanya keyakinan itu harus dipupuk dan ditanamkan sedari kecil sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari kepribadian anak sampai ia dewasa. Melihat dari sini, pendidikan agama di sekolah mendapat beban dan tanggung jawab moral yang tidak sedikit apalagi jika dikaitkan dengan upaya pembinaan mental remaja. Usia remaja ditandai dengan gejolak kejiwaan yang berimbas pada perkembangan mental dan pemikiran, emosi, kesadaran sosial, pertumbuhan moral, sikap dan kecenderungan serta pada akhirnya turut mewarnai sikap keberagamaan yang dianut (pola ibadah).
Pada usia remaja, ditinjau dari aspek ideas and mental growth, kekritisan dalam merangkum pemikiran-pemikiran keagamaan mulai muncul, kekritisan yang dimaksud bisa berupa kejenuhan atau kebosanan dalam mengikuti uraian-uraian yang disampaikan guru Agama di sekolah apalagi jika metodologi pengajaran yang disampaikan cenderung monoton dan berbau indoktrinasi. Jadi mereka telah mulai menampilkan respon ketidak sukaan terhadap materi keagamaan yang dipaketkan di sekolah. Sebenarnya akar permasalahan yang timbul dari kekurang senangan remaja terhadap paket materi pelajaran keagamaan di sekolah terletak pada minimnya motivasi untuk mendalami agama secara lebih intens, yang lebih sederhana lagi ialah pelajaran agama yang mereka dapat di sekolah kurang memberikan aplikasi dan solusi praktis dalam keseharian mereka. Apalagi waktu mereka lebih banyak dihabiskan dengan nonton teve, jalan-jalan ke mall, ngeceng, pacaran dan hal-hal lain meski banyak juga remaja kita yang melakukan aktifitas positif seperti remaja mesjid, berwiraswasta atau ikut organisasi eskul sekolah serta mengikuti kursus-kursus keterampilan.
Jawaban dari permasalahan diatas adalah kembali pada sosok guru agama sebagai tauladan dan sumber konsentrasi remaja yang menjadi peserta didiknya. Mampukah ia menjadikan dirinya termasuk masalah materi serta metodologi yang dipergunakan sebagai referensi utama bagi peserta didiknya yang seluruhnya remaja itu dalam mengembangkan sikap keberagamaan yang tidak sekedar merasa memiliki agama (having religion) melainkan sampai kepada pemahaman agama sebagai comprehensive commitment dan driving integrating motive, yang mengatur seluruh kehidupan seseorang dan merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sehingga nantinya remaja-remaja tersebut merasakan ibadah sebagai perwujudan sikap keberagamaan intrinsik tersebut sama pentingnya atau malah lebih penting dibanding nonton teve, jalan-jalan, hura-hura dan lain sebagainya.
Satu hal penting lainnya yang tidak boleh diabaikan oleh para guru Agama di sekolah ialah materi pelajaran agama yang disampaikan di sekolah hendaknya selalu diorientasikan pada kepentingan remaja, seorang guru Agama harus bisa menanamkan keyakinan bahwa apa-apa yang ia sampaikan bukan demi kepentingan sekolah (kurikulum) atau kepentingan guru Agama melainkan demi kepentingan remaja itu sendiri. Karenanya pemahaman akan kondisi objektif kejiwaan remaja mutlak diperlukan oleh para guru Agama di sekolah. Seorang guru Agama harus senantiasa dekat dan akrab dengan permasalahan remaja yang menjadi peserta didiknya agar mampu menyelami sisi kejiwaan mereka. Dan materi pelajaran agamapun harus terkesan akrab dan kemunikatif, sehingga otomatis sistem pengajaran yang cenderung monolog (satu arah), indoktriner, terkesan sangar (karena hanya membicarakan halal haram) harus dihindari, untuk kemudian diganti dengan sistem pengajaran yang lebih menitik beratkan pada penghayatan dan kesadaran dari dalam diri. Hal ini mungkin saja dilakukan baik dengan mengajak peserta didik bersama-sama mengadakan ritual peribadatan (dalam rangka penghayatan makna ibadah) atau mengajak peserta didik terjun langsung ke dalam kehidupan masyarakat kecil sehingga mereka bisa mengamati langsung dan turut merasakan penderitaan yang dialami masyarakat marginal tersebut (sebagai upaya menanamkan rasa solidaritas sosial). Jadi intinya mereka tidak hanya mendengar atau mengetahui saja melainkan turut dilibatkan dalam permasalahan yang terdapat dalam materi pengajaran agama di sekolah.
Namun diatas semua itu yang paling penting adalah keterpaduan unsur keluarga, lingkungan masyarakat, kebijakan pemerintah disamping sekolah dalam rangka turut menanamkan semangat beragama yang ideal (intrinsik) di kalangan para remaja. Karena tanpa kerjasama terkait antar usur-unsur tersebut mustahil akan tercipta generasi muda (remaja) yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA:
  1. Dr. Zakiyah Darajat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, Cet. VII, 1983.
  2. Drs. H. Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama: Kepribadian Muslim Pancasila, Penerbit Sinar Baru, Bandung, Cet. II, 1991.
  3. Drs. Jalaluddin Rahmat Msc, Islam Alternatif, Penerbit Mizan, Bandung, Cet. I, 1986.
  4. Makalah-makalah Ibu Dra. Susilaningsih MA (dosen Mata Kuliah Psikologi Agama di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

1 Perkembangan Rasa Keagamaan Pada Remaja, makalah Dra. Susilaningsih MA, hlm 1
2 Dr. Zakiyah Darajat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 1983, hlm 90-91
Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan
Menurut bahasa, pendidikan berasal dari kata “didik” yang artinya melatih atau mengajar dan mendapat awalan pen- dan akhiran –an. Dalam bahasa Yunani dikenal dengan istilah Paedagodie yang berarti pergaulan dengan anak-anak atau Paedagogos yang artinya, seorang pelayan atau bujang pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput, anak-anak kesekolah, sedangkan menurut Istilah Pendidikan adalah usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.[1]
Agama
Pengertian agama secara etimologi adalah kata yang berarti dari bahasa sansekerta yang akar katanya adalah “A” dan “Gama”. “A” artinya tidak dan “Gama” artinya kacau, jadi agama artinya tidak kacau atau teratur, maksudnya agama adalah peraturan yang dapat membebaskan manusia dan kekacauan yang di hadapi dalam hidupnya bahkan menjelang matinya.[2]
Sedangkan menurut terminologi agama dan religius adalah suatu tata kepercayaan atas adanya yang Agung diluar manusia, dan suatu tata penyembahan kepada yang Agung tersebut, serta suatu tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan yang Agung, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Alam yang lain, sesuai dengan tata kepercayaan dan tata penyembahan tersebut.[3]
Islam
Pengertian Islam secara Etimologi berasal dari bahasa arab yang diangkat dari kata salinan yang berarti selamat sentosa. Sedangkan Islam secara umum adalah agama yang disyari’atkan oleh Allah dengan perantaraan para Nabi dan RasulNya, yang mengandung perintah-perintah, larangan-laranganserta petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan manusia di dunia dan diakhirat.[4]
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah : ilmu yang membahas pokok-pokok keimanan kepada Allah, cara beribadah kepada-Nya, dan mengatur hubungan baik sesama manusia, serta makhluk lainnya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.[5]
Pengertian Kesahatan Mental
Kesehatan mental terdiri dari beberapa definisi yang dekemukakan oleh beberapa pakar yang ditinjau dari berbagai pandangan dan bidangnya masing-masing antara lain :
  • Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala jiwa dan gejala penyakit jiwa.
  • Kesehatan mental adalah adanya kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, orang lain, masyarakat atau lingkungan. Untuk mencapai kesehatan mental itu harus mengenal diri sendiri dan bertindak dengan kemampuan atau kekurangan diri, hal ini bukan berarti kita mengabaikan orang lain.
  • Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan seseorang mengembangkan potensi, bakat dan pembawaannya yang ada semaksimal mungkin.[6]
Jadi dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental adalah : terwujudnya keharmonisan dalam fungsi jiwa serta tercapainya kemampuan untuk menghadapi permasalahan sehari-hari, sehingga merasakan kebahagiaan dan kepuasan dirinya.[7] Seseorang dikatakan mempunyai mental yang sehat bila ia terhindar dari gejala penyakit jiwa. Dan memanfaatkan potensi yang dimilikinya untuk menyelaraskan fungsi jiwa dalam dirinya.
Peranan Pendidikan Agama Islam dalam mempengaruhi Kesehatan Mental Anak
Sebagai sebuah disiplin ilmu semakin hari semakin dirasakan pentingnya pendidikan agama bagi anak, dan harus dipahami dan dimengerti secara tepat dasar dan tujuan psikologi agama tersebut. Karena dapat terlihat betapa longgarnya orang berpegangan kepada agama, sehingga banyak orang hidup menderita batin disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan agama yang mereka miliki.
Dengan demikian, jelas kita harus mendidik anak dengan pendidikan agama, sejak anak tumbuh dalam kandungan sampai bayi lahir hingga dewasa, masih perlu kita bimbing. Dan menurut hasil penelitian ilmu pengetahuan modern mengatakan bahwa yang dominan membentuk jiwa manusia adalah lingkungan dan lingkungan yang pertama dialami sang anak adalah asuhan ibu dan ayah.
Pemehamana Pendidikan Agama Islam bagi Kesehatan Mental Anak
Perkembangan pendidikan bagi anak, pada masa anak terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga, disekolah dan dalam masyarakat. Lingkungan banyak membentuk pengalaman yang bersifat religius, (sesuai dengan ajaran agama) karena semakin banyak unsur agama maka sikap, tindakan dan kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajarana agama.[8]
Setiap orang tua dan semua guru ingin membina anak agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat dan yang terpuji. Semua itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik yang formal maupun yang non formal. Setiap pengalaman yang dilalui anak baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun prilaku yang diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadnya.
Masa pendidikan di SD merupakan kesempatan pertama yang sangat baik, untuk membina pribadi anak setelah orang tua, sekolah dasar merupakan dasar pembinaan pribadi dan mental anak. Apabila pembinaan pribadi dan mental anak terlaksana dengan baik, maka si anak anak memasuki masa remaja dengan mudah dan pembinaan pribadi dimasa remaja itu tidak akan mengalami kesulitan.
Pendidikan anak di sekolah dasarpun, merupakan dasar pula bagi pembinaan sikap dan jiwa agama pada anak. Apabila guru agama di SD mampu membina sikap positif terhadap agama dan berhasil dalam membentuk pribadi dan akhlak anak, maka untuk mengembangkan sikap itu pada masa remaja muda dan sianak telah mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi berbagai goncangan yang biasa terjadi pada masa remaja.
Anak-anak akan bersifat sama sopan dan hormatnya kepada orang lain seperti kita kepada mereka, jika dibesarkan dilingkungan rumah dimana mereka diperlakukan dengan penuh kewibawaan, kebaikan hati dan rasa hormat, akan besar pengaruhnya terhadap cara mereka memperlakukan orang lain. Mereka akan sampai kepada keyakinan bahwa begitulah cara mereka harus memperlakukan orang lain. Mereka juga cenderung memperlakukan kita dengan cara melihat kita memperlakukan orang lain diluar keluarga.
Pendidikan agama islam memberikan hari dan mensucikan jiwa serta mendidik hati nurani dan mental anak-anak dengan kelakuan yang baik-baik dan mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan yang mulia. Karena pendidikan agama islam memelihara anak-anak supaya melalui jalan yang lurus dan tidak menuruti hawa nafsu yang menyebabkan nantinya jatuh ke lembah kehinaan dan kerusakan serta merusak kesehatan mental anak.
Pendidikan agama islam mempunyai kedudukan tinggi dan paling utama, karena pendidikan agama islam menjamin untuk memperbaiki akhlak dan kesehatan mental anak serta mengankat mereka ke derajat yang lebih tinggi serta berbahagia di dunia dan tenang kehidupannya.
Adapun pendidikan agama islam yang perlu di terapkan kepada anak sejak usia dini antara lain
Membisikkan Kalimat Tauhid
Dalam hal ini sejak anak lahir kedunia tidak lain yang dibisikkan atau diperdengarkan setelah keluar dari rahim ibunya kecuali “Allah” dengan menggunakan azan di telinga kanan untuk anak laki-laki dan iqamat di telinga kiri untuk anak perempuan, karena pendidikan agama islam membersihkan hati dan mensucikan jiwa agar anak-anak nantinya tetap patuh perintah Allah.[9]
Mengajari Akhlak yang Mulia
Dengan mengajari anak akhlak yang mulia atau yang terpuji bukan hanya semata untuk mengetahuinya saja, melainkan untuk mempengaruhi jiwa sang anak agar supaya beraklak dengan akhlak yang terpuji. Karena pendidikan agama islam dalam rumah tangga sangat berpengaruh besar dalam rangka membentuk anak yang berbudi pekerti yang luhur dan memiliki mental yang sehat.
Mengislamkannya atau mengkhitankannya
Disebutkan dalam Assahhain, dari hadits Abi Hurairah ra, berkata : “Rasululullah Saw. Bersabda : “Pitah itu ada lima (Khitan, mencukur buku di bawah perut, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut buku ketiak)”. Disini khitan ditempatkan ditempat sebagai ciri fitrahnya seseorang yang berdasarkan pada kelemah lembutan agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, dimana ia diperintahkan untuk melakukannya pada waktu ia mencapai usia 80 tahun.
Dengan demikian sebagai orang tua yang mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anak-anaknya, agar tidak menyia-nyiakan amanah tersebut, orang tualah sebagai pembina pertama dalam hidup dan kehidupan si anak, olehnya itu anak perlu berbakti dan hormat serta berakhlak mulia terhadap kedua orang tuanya.
Oleh sebab itu pemahaman agama islam sangat dianjurkan untuk pendidikan anak usia diniagar anak tersebut mempunyai kesehatan mental yang baik untuk menuju kehidupan yang cemerlang.
Upaya Melestarikan Kesehatan Mental Anak Melalui Pendidikan Agama Islam
Dalam upaya melestarikan kesehatan mental setiap anak / orang harus mendapatkan pendidikan dan bimbingan dan penyuluhan kejiwaan. Dengan demikian mereka membutuhkan sistem persekolahan yang sesuai dengan kepribadian dan perkembangan anak.
Perlunya diketahui bahwa kesahatan mental dapat dicapai melalui kehidupan jadi rukun dan damai diantaran kelompok sosial dengan saling memberi dukungan fisik, material maupun moral untuk mencapai ketenangan hidup melalui agama, dapat meredam gejala jiwa, dan perlu dilakukan / dilaksanakan secara konsisten dan produktif.
Setiap orang hendaknya menjalankan perintah agama dengan penuh rasa tanggung jawab dan meninggalkan larangan-larangannya. Dengan melaksanakan kehidupan beragama dan menjalankan ibadah, seseorang yang memiliki kesadaran agama dan secara matang melaksanakan ibadahnya dengan rasa tanggung jawab dengan dilandasi wawasan agama yang luas. Dengan demikian ia akan mendapatkan kebahagiaan dan dapat menikmati ketenangan jiwa yang menyebabkan kepribadian yang matang dan sehat.[10]
Agama islam mampu memberikan jawaban dan menetapkan hukum atau kaidah secara rasional dan logis, agama tidak hanya memberikan pegangan hidup yang rasional saja, melainkan juga menunjukkan dinamika penyaluran dan kepuasan dalam dorongan emosional. Agama dapat memberikan masalah yang berada diluar jangkauan logika dan rasio misalnya, persoalan kematian, hidup sesudah mati, alam akhirat dan sebagainya. Bahkan agama memberikan dorongan lebih kuat dan lebih bermakna terhadapat semangat dan arti hidup.
Dengan mengungkapkan beberapa contoh diatas bahwa dalam ajaran islam terkandung dasar dan prinsip kesehatan mental sebaliknya gangguan jiwa dimulai dari kotoran jiwa yang pada hakekatnya merupakan pendurhakaan terhadap kefitrian jiwa itu sendiri.[11]
Kesehatan mental dalam islam juga mencakup pengertian Al-mutmainnah, yakni hati yang tentram juga Al-Sakinah yakni bersih menurut pandangan islam kesehatan mental tidak hanya sekedar harmonisnya interaksi manusia dalam kepentingan duniawi, tetapi sekaligus dalam rangka integritas iman yang sempurna.[12]
Ada beberapa konsep untuk mencapai ketenangan jiwa dalam diri manusia sebagai berikut :
  • Orang yang mau mentaati perintah Allah dan RasulNya pasti akan senang dan bahagia.
  • Orang –orang yang beriman pasti akan diberi ketentraman hidup.
  • Orang – orang yang beriman dan beramal soleh pasti mempunyai kehidupan yang baik
  • Orang – orang yang beriman dan beramal soleh pasti pernah merasa takut dan berduka cita-cita.[13]
Cara Menjaga Kesehatan Mental Anak Melalui Pendidikan Agama Islam
Seseorang dikatakan memiliki mental yang sehat bila ia terhindar dari gejala penyakit jiwa dan bila ia dapat menguasai dirinya sendiri sehingga ia terhindar dari tekanan-tekanan perasaan atau hal-hal yang menyebabkan frustasi dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya untuk menyelaraskan fungsi jiwa dalam dirinya. Keharmonisan antara fungsi jiwa dengan tindakan dapat dicapai antara lain dengan menjalankan ajaran agama dan berusaha menerapkan norma-norma sosial, hukum, moral, dan sebaginya.[14]
Kartini kartono mengemukakan bahwa orang memiliki mental yang sehat tentu memiliki sifat – sifat yang khas antara lain : mempunyai kemampuan untuk bertindak secara efisien, memiliki tempat hidup yang jelas, memiliki konsep diri yang sehat, memiliki koordiansi antara segenap potensi dengan usaha-usahanya dan memiliki kepribadian dan bathin yang selalu terang.[15]
Adapun ciri-ciri dari oraqng yang bermental tidak sehat antara lain :
  • Timbulnya rasa sedih, rasa sedih ini terkadang timbul dari hal-hal yang sepele terjadi. Karena kesehatan mental yang terganggu bukan karena penyebab kesedihan secara langsung.
  • Rasa rendah diri dan hilangnya kepercayaan pada diri. Rasa rendah diri menyebabkan seseorang menjadi tersinggung, sehingga menyebabkan orang yang bersangkutan tidak mau bergaul karena merasa dikucilkan. Ia tidak mau mengemukakan pendapatnya dan inisiatif, lama kelamaan pada dirinya akan hilang kepercayaan diri bahkan ia mulai tidak mempercayai orang lain.
  • Pemarah bila seseorang mudah sekali marah, maka kita menduga bahwa ia oversensitif, ia cenderung untuk merasa dimiliki karena pengalaman masa
lampau.[16]
Untuk itu agar mental seseorang / anak tidak terganggu maka orang-orang yang paling berpengaruh terhadap kepribadian anak tersebut adalah orang tuannya, saudara-saudaranya, famili, kawan-kawan dekat dan juga pendidikan agama islam yang telah di pahaminya. Karena dalam proses pertumbuhan dan pembentukan jiwa pada anak banyak mengalami hambatan, rintangan dan selalu mengalami kegoncangan dalam dirinya sebagai suatu dinamikan kehidupan.
Adapun cara untuk menjaga kesehatan mental anak melalui pendidikan agama islam antara lain :
  • Menanamkan Rasa Keagamaan terhadap Anak. Dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang agama, agar anak dapat mengenal lebih dekat kepada sang pemberi petunjuk yaitu Allah Swt. Agar apabila suatu saat seorang anak mengalami atau mendapatkan masalah dalam hidupnya tidak timbul frustasi pada anak tersebut yang dapat menimbulkan gangguan jiwa dan kesehatan mental paa tersebut dengan pengenalan agama lebih dekat.
  • Membimbing dan Mengarahkan Perkembangan Jiwa Anak Melalui Pendidikan Agama Islam. Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa anak dapat diusahakan melalui pembentukan pribadi dengan pengalaman keagamaan terhadap diri anak baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun masyarakat, lingkungan yang banyak membentuk pengajaran yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama islam). Akan membentuk pribadi, tindakan dan kelakuan serta caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama yang kesemuanya itu mengacu pada perkembangan jiwa dan pembentukan mental yang sehat dalam diri si anak.
  • Menanamkan Etika Yang Baik Terhadap Diri Anak Berdasarkan Norma-Norma Keagamaan. Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari umur 0 – 12 tahun.
Masa kanak-kanak merupakan masa yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan psikologi dan agama si anak. Oleh karena itu pada masa ini orang tua harus ekstra ketat dalam mendidik anaknya misalnya kita membiasakan anak untuk menggunakan tangan kanan dalam mengambil, memberi, makan dan minum, menulis, menerima tamu dan mengajarkannya untuk selalu memulai pekerjaan dengan membaca Basmalah serta harus diakhiridengan membaca Hamdalah.
Ada beberapa upaya mendidik anak antara lain :
  • Membiasakan anak untuk selalu menjaga kebersihan memotong kukunya, mencuci kedua tangannya sebelum dan sesudah makan, mengajarinya untuk bersuci ketika buang air kecil dan air besar, sehingga membuat najis pakaiannya dan shalatnya menjadi sah.
  • Membiasakan anak-anak untuk diam ketika Adzan berkumandang dan menjawab bacaan-bacaan muadzin kemudian bersolawat atas Nabi dan berdo’a
  • Waspada terhadap persahabatan mereka dengan kawan-kawan yang nakal , mengawasi mereka dan melarang mereka untuk duduk – duduk dipinggir jalan dan lain-lain.
Jika akhlak dan sopan santun yang dibiasakan oleh anak didik baik, kelak jika ia dewasa akhlak mereka kepada orang tua dan teman-temannya tidak akan membuat kesalahan seperti anak-anak yang jarang di didik oleh orang tuanya.[17]

[1] Irawati Istadi, Mendidik Dengan Cinta (Bekasim 2006), hal. 5.
[2] M. Fauzi AG., Pendidikan Agama Islam untuk SMP Kelas VII (Jakarta, 2004), hal. 25
[3] Ibid, hal. 27
[4] Ibid.
[5] Ibid, hal. 31
[6] Dr.H.M. Sattu Alang, M.A. op.cit. hal. 11.
[7] Ibid. hal. 13.
[8] Ibid, hal. 64
[9] Ibid,hal.59
[10] Charles Schaefer Ph.D, Bagaimana Mempengaruhi Anak (Semarang, 1989), hal.26
[11] Ibid, hal.
[12] Dr. H.M. Sattu Allang, A.Ma. loc.cit
[13] Ibid.
[14] Ibid.hal. 12
[15] Ibid.hal. 11
[16] Ibid.hal. 20
[17] Irawati Istadi, op cit., hal.121

Pengertian Pembinaan Mental

Pembinaan berasal dari kata “bina” yang mendapat awalan ke- dan akhiran – an, yang berarti bangun/bangunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembinaan berarti membina, memperbaharui, atau proses, perbuatan, cara membina, usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.21
Mental diartikan sebagai kepribadian yang merupakan kebulatan yang dinamik yang dimiliki seseorang yang tercermin dalam sikap dan perbuatan atau terlihat dari psikomotornya. Dalam ilmu psikiatri dan psikoterapi, kata mental sering digunakan sebagai ganti dari kata personality (kepribadian) yang berarti bahwa mental adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap (attitude) dan perasaan yang dalam keseluruhan dan kebulatannya akan menentukan corak laku, cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan atau menggembirakan, menyenangkan dan sebagainya. 22
Para ahli dalam bidang perawatan jiwa, dalam masalah mental telah membagi manusia kepada 2 (dua) golongan besar, yaitu (1) golongan yang sehat mentalnya dan (2) golongan yang tidak sehat mentalnya.
  1. a.   Golongan yang sehat mentalnya
Kartini Kartono mengemukakan bahwa orang yang memiliki mental yang sehat adalah yang memiliki sifat-sifat yang khas antara lain: mempunyai kemampuan untuk bertindak secara efesien, memiliki tujuan hidup yang jelas, memiliki konsep diri yang sehat, memiliki koordinasi antara segenap potensi dengan usaha-usahanya, memiliki regulasi diri dan integrasi kepribadian dan memiliki batin yang tenang. Disamping itu, beliau juga mengatakan bahwa kesehatan mental tidak hanya terhindarnya diri dari gangguan batin saja, tetapi juga posisi pribadinya seimbang dan baik, selaras dengan dunia luar, dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungannya.23
Menurut Dr. Jalaluddin dalam bukunya “Psikologi Agama” bahwa:
“Kesehatan mental merupakan suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman dan tentram, dan upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan  diri sepenuhnya kepada Tuhan)”.24
Sedangkan menurut paham ilmu kedokteran, kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan  selaras dengan keadaan orang lain.25
Zakiah Daradjat mendefenisikan bahwa mental yang sehat adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat.26 Jika mental sehat dicapai, maka individu memiliki integrasi, penyesuaian dan identifikasi positif terhadap orang lain. Dalam hal ini, individu belajar menerima tanggung jawab, menjadi mandiri dan mencapai integrasi tingkah laku.27
Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa orang yang sehat mentalnya adalah terwujudnya keharmonisan dalam fungsi jiwa serta tercapainya kemampuan untuk menghadapi permasalahan sehari-hari, sehingga merasakan kebahagiaan dan kepuasan dalam dirinya. Seseorang dikatakan memiliki mental yang sehat, bila ia terhindar dari gejala penyakit jiwa dan memanfatkan potensi yang dimilikinya untuk menyelaraskan fungsi jiwa dalam dirinya.28
b. Golongan yang kurang sehat mentalnya
Golongan yang kurang sehat adalah orang yang merasa terganggu ketentraman hatinya. Adanya abnormalitas mental ini biasanya disebabkan karena ketidakmampuan individu dalam menghadapi kenyataan hidup, sehingga muncul konflik mental pada dirinya. Gejala-gejala umum yang kurang sehat mentalnya, yakni dapat dilihat dalam beberapa segi, antara lain:
1). Perasaan
Orang yang kurang sehat mentalnya akan selalu merasa gelisah karena kurang mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.
(2).  Pikiran
Orang yang kurang sehat mentalnya akan mempengaruhi pikirannya, sehingga ia merasa kurang mampu melanjutkan sesutu yang telah direncanakan  sebelumnya, seperti tidak dapat berkonsentrasi dalam melakukan sesuatu pekerjan, pemalas, pelupa, apatis dan sebgainya.
(3) Kelakuan
Pada umumnya orang yang kurang sehat mentalnya akan tampak pada kelakuan-kelakuannya yang tidak baik, seperti keras kepala, suka berdusta, mencuri, menyeleweng, menyiksa orang lain, dan segala yang bersifat negatif. 29
Dari penjelasan tersebut di atas, maka dalam hal ini tentunya pembinaan yang dimaksud adalah pembinaan kepribadian secara keseluruhan. Pembinaan mental secara efektif dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina. Pembinaan yang dilakukan meliputi pembinaan moral, pembentukan sikap dan mental yang pada umumnya dilakukan sejak anak masih kecil. Pembinaan mental merupakan salah satu cara untuk membentuk akhlak manusia agar memiliki pribadi yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan bersusila, sehingga seseorang dapat terhindar dari sifat tercela sebagai langkah penanggulangan terhadap timbulnya kenakalan remaja.
Pembentukan sikap, pembinaan moral dan pribadi pada umumnya terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Agar anak mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji, semuanya dapat diusahakan melalui penglihatan, pendengaran, maupun perlakuan yang diterimanya dan akan ikut menentukan pembinaan pribadinya.30
Pembinaan mental/jiwa merupakan tumpuan perhatian pertama dalam misi Islam. Untuk menciptakan manusia yang berakhlak mulia, Islam telah mengajarkan bahwa pembinaan jiwa harus lebih diutamakan daripada pembinaan fisik atau pembinaan pada aspek-aspek lain, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan yang baik yang pada gilirannya akan menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia lahir dan batin.31
Menurut Quraisy Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an” bahwa:
“Manusia yang dibina adalah makhluk yang mempunyai unsur-unsur jasmani (material) dan akal dan jiwa (immaterial). Pembinaan akalnya menghasilkan keterampilan dan yang paling penting adalah pembinaan jiwanya yang menghasilkan kesucian dan akhlak. Dengan demikian, terciptalah manusia dwidimensi dalam suatu keseimbangan”.32
Dengan demikian, pembinaan mental adalah usaha untuk memperbaiki dan memperbaharui suatu tindakan atau tingkah laku seseorang melalui bimbingan mental/ jiwanya sehingga memiliki kepribadian yang sehat, akhlak yang terpuji dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupannya.

21Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Ed. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 117
22Zakiah, Op. Cit.,h. 38
23Lihat Kartini Kartono, Patologi Sosial ( Cet. VI; Jakarta: CV. Rajawali, 1999), h. 230
24Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama (Cet.Iv; Jakarta: PT. Raja Graffindo Persada, 2000), h. 146
25Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Al-Qur’an; Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Cet.X; Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2001), h. 112
26Abdul Mujib, M.Ag & Jusuf Mudzakir, M.Si., Nuansa-nuansa Psikologi Islam (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 136
27Lihat Mappiare, Op. Cit. h. 47
28Alang, Op. Cit., h. 11
29Lihat Zakiah, Op. Cit. h. 41
30Daradjat, Op. Cit., h. 56
31Lihat Drs. Asmaran As., M.A., Pengantar Studi Akhlak (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 44
32Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Cet. XI; Bandung: Mizan, 1996), h. 173